( KELUARGA ) CARILAH ALLAH DALAM RUMAH TANGGAMU, BUKAN EGOIS YG DI
GEDEIN - Susurilah cinta yang hilang di jalan iman. Buanglah kerikil ego
yang menghalangi. Sebab ego hanya
membina tembok pemisah di antara dua hati walaupun fisik masih hidup
sebumbung. Mungkin di khalayak ramai, masih tersenyum dan mampu
‘menyamar’ sebagai pasangan yang ideal tetapi hati masing-masing TST
(tahu sama tahu), di mana kemesraan sudah tiada lagi. Pasangan yang
begitu, boleh menipu orang lain. Namun, mampukah mereka menipu diri
sendiri? Yang retak akhirnya terbelah. Penceraian berlaku. Mereka
berpisah. Masyarakat yang melihat dari jauh pelik, mengapa begitu mesra
tiba-tiba berpisah? Tidak ada kilat, tidak ada guntur, tiba-tiba ribut
melanda. Oh, mereka tertipu. Perpaduan yang mereka lihat selama ini
hanyalah sinetron.
Allah membongkar rahasia ini dalam firman-Nya:
“Kamu lihat saja mereka bersatu tetapi hati mereka berpecah.”
Carilah di mana Allah di dalam rumah tangga mu. Apakah Allah masih
dibesarkan dalam solat yang kau dirikan bersama ahli keluarga mu? Apakah
sudah lama rumah mu telah menjadi pusara akibat kegersangan dzikir dan
suara bacaan al-Quran? Apakah sudah luput majelis ilmu yang menjadi
tonggak dalam rumah tanggamu? Di mana pesan-pesan iman dan wasiat taqwa
yang menjadi penawar ujian kebosanan, kejemuan dan keletihan ini?
Penyakit ego akan senantiasa menimpa jika hati sudah tidak terasa lagi
kebesaran Allah. Orang yang ego hanya melihat kebesaran dirinya lalu
memandang hina pasangannya. Hati yang ego itu haruslah segera dibasuh
kembali dengan rasa bertauhid menelusuri ibadah-ibadah --khususnya
melalui shalat, membaca al-Quran, berzikir, bersedekah– dan yang paling
penting adalah majelis ilmu.
Allah berfirman:
“Dan berilah peringatan. Sesungguhnya peringatan itu memberi manfaat kepada orang mukmin.” (Adz-Dzariyat ayat 55)
Sedangkan orang mukmin saja perlu diperingatkan, apatah lagi kita yang
belum mukmin? Iman itu, seperti yang dimaksudkan hadits, boleh bertmbah
dan berkurang. Untuk memastikan ia sentiasa bertahan atau bertambah,
hati perlu bermujahadah. Lawan hawa nafsu yang mengajak kepada
ketakaburan dengan mengingat bahwa Allah sangat membenci kepada orang
yang takabur, walaupun sasaran takabur itu adalah suami atau isteri
sendiri.
Bila terasa bersalah, jangan malu mengaku salah.
Segeranya mengakuinya dan hulurkan kata meminta maaf. Ular yang menyusur
akar tidak akan hilang bisanya. Begitulah suami yang meminta maaf
kepada isterinya. Dia tidak akan hilang kewibawaannya bahkan akan
bertambah tinggi. Bukankah orang yang merendahkan diri akan ditinggikan
Allah derajat dan martabatnya? Lunturkan ego diri dengan membiasakan
diri meminta maaf.
Tidak masalah ketika kita rasa kita adalah yang benar, lebih-lebih lagi apabila jika kita yang bersalah.
Ini juga berlaku pada para lelaki. Lelaki yang “tewas” ialah lelaki
yang sukar mengaku salah dan senantiasa tidak ingin mengalah. Saat
itulah dia telah memiliki salah satu dari tiga ciri takabur, yakni
menolak adanya kebenaran.
Akuilah kebenaran walaupun kebenaran
itu berada di pihak isteri. Tunduk kepada kebenaran artinya tunduk
kepada Allah. Jangan bimbang hanya karena takut dikatakan “laki-laki
takut isteri”. Kita hanya takut pada Allah. Sebab Allah sangat membenci
orang yang takabur.
Begitu juga isteri. Jika sudah terbukti
bersalah, akui sajalah. Dalam pertelagaan antara suami dan isteri,
apakah penting siapa yang menang, atau siapa yang kalah?
Kita
berada di dalam gelanggang rumah tangga bukan berada di ruang mahkamah.
Kesalahan suami adalah kesalahan kita juga dan begitulah sebaliknya.
Rumah tangga wadah segalanya. Perkawinan adalah suatu hubungan, bukan
satu persaingan. Andai kita “menang” pun, lantas apa gunanya? Padahal,
kita akan terus hidup bersama, tidur sebantal dan berteduh di bawah
naungan yang sama.
Mujahadahlah sekuat-kuatnya menentang ego
ini. Bisikan selalu di hati, bahwa Allah selalu mencintai orang yang
merendah diri dan Allah sangat membenci orang yang tinggi diri.
Pandanglah pasangan kita sebagai sahabat yang paling rapat. Kita dan dia
hakikatnya satu. Ya, hati kita masih dua, tetapi dengan iman ia menjadi
satu. Bukan satu dari segi bilangannya, tetapi satu dari segi rasa.
Sekali lagi, ingatlah satu hal, hanya dengan iman, takabur akan luntur dan cinta akan subur!.
Jika paku boleh berkarat, semen boleh retak, maka begitulah iman, ia
juga akan naik dan menurun. Iman itu ada “virusnya”. Virus iman ialah
ego (takabur). Jangan ada takabur, karena cinta pasti hancur. Orang
takabur merasa dirinya lebih mulia dan pasangannya lebih hina. Jika
demikian, manakah ada cinta? Cinta itu ibarat dua tangan yang saling
bersentuhan. Tidak ada tangan yang lebih bersih. Dengan bersentuhan,
keduanya saling membersihkan.
“Kau isteri, aku suami”, “Aku
ketua, kau pengikutnya”, “Aku putuskan, kau hanya ikut saja”, “Jangan
coba-coba menentang!”, begitulah ego dan rasa takabur itu. Akibat
takabur, istri tak berkutik tanpa boleh bersuara. Sedikit bicara saja
ia sudah dibentak. Senyap-senyap, isteri menyimpan rasa dendam. Suami
‘disabotase’ dalam diam. Tegur suami, dijawabnya acuh tak acuh. Senyum
yang semula bak mawar akhirnya menjadi tawar dan hambar. Perlahan-lahan,
jarak hati semakin jauh dan cinta semakin rapuh.
Ada pula
isteri yang tak kalah ego. Tidak jarang meninggikan suara. Kesalahan
suami yang sedikit saja bisa menjadi urusan panjang. Anak-anak
ditelantarkan dan dapur dibiarkan berserakan. “Rasakan akibatnya jika
berani menentang aku,” bagitu dalam hatinya.
“Mengaku salah
tidak sekali. Minta maaf, pantang sekali,” begitu istilah Malaysia bagi
orang yang enggan mengaku salah dan tidak mahu meminta maaf
Karena ego, pasangan suami-istri sering silap di luar batas. Suara yang
meninggi, pintu yang di dihempaskan dengan kuat,atau hardikan pada sang
isteri di hadapan anak-anak. Ada juga suami yang menghardik isteri di
hadapan saudara bahkan tamunya yang datang.
Para istri juga
punya ego. Mungkin karena merasa tidak sekuasa suami, atau tak memiliki
keberanian, si isteri menunjukkan egonya dengan bermacam-macam-macam
ragam. Mungkin karena tak ada kebaranian berkacak pinggang di depan
suami, ia akan memalingkan badan dan mukanya ketika di tempat tidur.
Alhasil, cuaca rumah tangga menjadi muram. Rumah hanya jadi house tidak
jadi home lagi. Tidak ada keceriaan, kehidupan dan manis dan kelembutan
lagi. Semuanya bungkam. Ya, rumah (house) hanya sebuah bangungan yang
didirikan dari bahan batu, kayu dan semen. Sementara rumah tangga (home)
dibina dengan kasih sayang, cinta dan sikap saling menghormati.
Tidak ada rindu yang menanti suami ketika pulang dari bekerja. Tidak
ada kasih yang hendak dicurahkan oleh suami kepada isteri yang menanti
di rumah. Anak-anak tak lagi memiki kegairahan hidup.
Jaman
sekarang disaat peradaban jauh dari nilai keislaman dan keimanan, dan
banyaknya pemalingan dari nilai-nilai akidah, dimana kehidupan ini
sebenarnya hanya milik Allah, kita semua harus senantiasa menjaga diri
beserta keluarga, menghamba kepada Allah, memegang Qur'an dan Sunnah,
ikutilan tuntunan Nabi dan para shahabatnya karena itulah cahaya, dan
merekalah sepantasnya harus diikutin tanpa banyak nanya, mengeluh, dan
merasa susah, karena itu karena mungkin kita kelamaan dijajah oleh jaman
modernisasi yang bila tidak pintar-pintar memilah dan memilih kita
senantiasa dalam kelalaian ini, padahal menjaga diri beserta keluarga
itulah bagian dari ibadah, bagian dari kewajiban kita mengikuti hidayah
Allah, sebagai bukti penyembahan dan kepatuhan seorang hamba kepada
Robb-Nya didalam kehidupan yang fana ini. Sebar buat temen2 kita yang
kisruh Rumah tangganya, kalo perlu di print buat bekel penguat juga gak
pp, tulisan jangan didiemin aje, Insya Allah jadi wasilah sakinahnya
Rumah tangga kite berkat keredhoan dan izin Allah SWT, aamiin..
-Tim Ustadz-
sumber